Pendidikan Karakter Sebuah Keniscayaan


Hangatnya wacana pendidikan karakter belakangan ini umumnya memosisikan pendidikan karakter sebagai “secercah solusi” atas berbagai krisis moral yang sedang mewabah bangsa Indonesia. Banyaknya pengamat dan praktisi pendidikan yang ‘berteriak’ pentingnya pendidikan karakter merupakan bentuk keprihatinan atas banyaknya kasus destruktif dalam konteks kebangsaan. Misalnya, terjadinya sentimen antaretnis, perselisihan antarsuku, kasus-kasus narkoba, tawuran antarpelajar, kekerasan terhadap anak, dan masih banyak lagi. Semuanya menunjukkan karakter kebangsaan Indonesia masih lemah.
Selama ini, pendidikan belum mengantarkan peserta didik pada kesadaran akan dirinya sendiri sebagai manusia yang berpikir untuk merdeka, yang mana peserta didik sejak awal dilatih memiliki wawasan yang luas mengenai kenyataan hidup pada lingkungannya. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Selama ini, pendidik hanya mengajarkan apa yang harus dihafalkan, sehingga hanya mampu mencetak peserta didik yang berkarakter plagiat.
Pemikiran Foerster, salah satu pencetus teori pendidikan karakter yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia dalam mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pendidikan yang kental dengan sentuhan ilmiah dan sarat muatan akhlak yang memanusiakan manusia.
Menurut Prof. Dr. Arief Rachman, pakar pendidikan tanah air, secara teoritis dan menurut undang-undang pendidikan Indonesia sudah berada di jalan yang baik dan benar, tetapi di dalam pelaksanaannya belum. “Masih banyak menekankan pada kekuatan otak. Harusnya (juga) membentuk watak yang baik” tegasnya.

Memimpi Lompatan Sejarah
Mungkinkah sebuah lompatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Apakah mungkin pendidikan karakter diterapkan di Indonesia?
Wacana pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang mengapresiasi spontanitas dalam pendidikan anak. Melalui pendidikan karakter, manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Manusia, apapun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, lompatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Pembentukan Karakter di Sekolah
Sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang ini, maka pendidikan dijalankan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari di keluarga. Anak-anak petani langsung mempelajari tentang menanam, merawat dan memelihara tanaman, memanen, serta membudidaya. Sembari mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Maka, pendidikan pada waktu itu merupakan sesuatu yang konkret, dan tidak direncanakan, tetapi langsung berhubungan dengan hajat hidup.
Kali pertamanya, seorang anak memperoleh pendidikan dalam keluarga. Dengan demikian keluarga dapat dikatakan adalah peletak dasar bagi pendidikan seorang anak. Artinya keluarga sangat berperan dalam perkembangan kepribadian anak. Namun, pada masa sekarang sekolah dibutuhkan karena masyarakat modern dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju menawarkan demikian banyak kepandaian dengan kerumitan dan kompleksitas yang tinggi, sehingga tidak mungkin lagi mempelajari kepandaian yang diperlukan hanya sambil lalu dalam praktik.
Sejatinya, pendidikan berkaitan erat dengan manusia. N Driyarkara memandang bahwa manusia dan pendidikan merupakan dua sisi dari satu kehidupan. Melalui pendidikan seseorang dapat dimanusiakan menjadi manusia. Persoalannya adalah, apakah di negeri ini sudah sampai pada tataran itu? Lembaga pendidikan di Indonesia ternyata belum berhasil memosisikan lembaganya sebagai pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang dicita-citakan.
Prof. Dr. Arief Rachman memandang bahwa pendidikan kita belum terlalu berperan dalam pembentukan karakter peserta didik. “Masih banyak sekolah yang hanya memikirkan prestasi nilai dan angka-angka.” Pendidikan di negeri ini juga belum pernah jujur dalam mengajarkan nilai-nilai kebenaran karena semua dilakukan di area formalitas belaka. Sistem pendidikan kita masih mengandalkan cara berpikir yang bermuatan kurikulum, bukan pada pembentukan karakter anak didik.
Pendidikan karakter berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral, seperti pendidikan kewarganegaraan, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama. Pendidikan karakter berorientasi mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang mengintegrasi aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Sedangkan, pendidikan moral, misalnya kewarganegaraan dan pelajaran agama hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan) tanpa ada apresiasi (emosi) dan –kurang dalam- praktik. Sehingga, jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hafal isi Pancasila atau ayat-ayat suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.

Dampak Pendidikan Karakter
Sejauh mana dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ikhtisar dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini pernah diterbitkan oleh sebuah buletin Character Educator, yang dipublish oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri-St. Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif peserta didik yang selama itu membiaskan keberhasilan akademik
Sesungguhnya, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya, yang itu merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongong masa depan.

Urgensitas Pendidikan Karakter
Di sekolah, pendidikan karakter tentunya sangat diperlukan, walaupun basic dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapat pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun, banyak orangtua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Sehingga, banyak orangtua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya. Entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun, ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. “Sekolah bisa, asal proses belajarnya baik. Karakter akan muncul dengan baik.” tutur Prof. Dr. Arief Rachman.
Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgen untuk dilakukan. Jika pemangku pendidikan mempunyai iktikad serius dalam meningkatkan kualitas out put pendidikannya, maka penguatan pendidikan karakter bagi peserta didik menjadi sebuah keniscayaan.
Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh kesalahan fatal, yaitu "education without character" (pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: "Intelligence plus character... that is the good od true education" (Kecerdasan plus karakter... itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga, Theodore Roosevelt yang mengatakan: "To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society" (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman berbahaya kepada masyarakat).
Bagaimana dengan konsep pendidikan dalam agama Islam? Hal tersebut tidak lepas dari yang pernah diperankan oleh Nabi Muhammad SAW dalam proses mendidik keluarga dan para Sahabat. Sebagaimana terbaku dalam kitab suci al-Qur’an, bahwa Rosulullah SAW adalah sosok penyempurna akhlak manusia. Demikian halnya yang terjadi dalam proses-proses pendidikan (tarbiyah) yang dilakukan oleh Rosulullah. Beliau tidak hanya mendidik dengan retorika dan wacana, tetapi lebih dari itu, yakni memberikan keteladanan dalam bentuk akhlakul karimah sebagai bukti konkret dan keselarasan antara perkataan dengan perbuatan. Prof. Dr . Arief Rachman menuturkan bahwa karakter akhlakul karimah adalah akhlak yang dilandasi oleh al-Qur’an dan al-Hadits. “Serta ilmu yang betul-betul mutakhir dan berwawasan global” pungkasnya.

http://www.sdm4sby.com/web/index.php?option=com_content&view=article&id=135:pendidikan-karakter-sebuah-keniscayaan&catid=45:pendidikan&Itemid=8

1 komentar: